- Home
- ›
- Pendidikan
- ›
- Politik
- ›
- Serba Serbi
- ›
- Sejarah Kalimantan Selatan
Sejarah Kalimantan Selatan
Posted: 19.36, by Unknown .
Categories: Pendidikan Politik Serba Serbi
Makam Pangeran Antasari yang berada belakang
masjid Jami Sungai Jingah Banjarmasin
Museum Lambung Mangkurat, di Kota Banjarbaru,
menyimpan benda dan dokumen bersejarah
perjuangan masyarakat Kalsel.
Museum Wasaka, museum menyimpan benda dan
dokumen bersejarah dalam perjuangan di Kalsel
mengenali koleksi Museum Wasaka
Museum Wasaka di Kenanga Ulu RT 14 Kelurahan Sungai Jingah, Kecamatan
Banjarmasin Utara.Kota Banjarmasin Kalimantan Selatan ini terletak di
tepian sungai, dekat jembatan 17 Mei. Di museum Wasaka diresmikan 10
November 1991 ini terdapat sekitar 400 koleksi benda bersejarah di
periode Perang Kemerdekaan.
Wasaka singkatan dari Waja Sampai Ka Puting yang merupakan motto perjuangan rakyat Kalimantan Selatan. Bangunan Museum Wasaka berbentuk rumah Banjar Bubungan Tinggi . di Museum ini juga terdapat daftar organisasi yang pernah berjuang menentang pemerintahan penjajah seperti Lasykar Hasbullah yang bermarkas di Martapura, Barisan Pemuda Republik Indonesia Kalimantan yang bermarkas di Banjarmasin, serta yang lainnya.
Kemudian ada peta Kalimantan Selatan yang dilengkapi dengan bebera foto masyarakat adat di daerah masing-masing, struktur organisasi perjuangan gerilya Kalsel menuju Pemerintahan Gubernur Tentara ALRI, serta benda-benda bersejarah lain seperti mesin tik kuno, kamera, cermin, dan sebagainya. Wisata Indonesia Surga dunia.
gambar pejuang KalselWasaka singkatan dari Waja Sampai Ka Puting yang merupakan motto perjuangan rakyat Kalimantan Selatan. Bangunan Museum Wasaka berbentuk rumah Banjar Bubungan Tinggi . di Museum ini juga terdapat daftar organisasi yang pernah berjuang menentang pemerintahan penjajah seperti Lasykar Hasbullah yang bermarkas di Martapura, Barisan Pemuda Republik Indonesia Kalimantan yang bermarkas di Banjarmasin, serta yang lainnya.
Kemudian ada peta Kalimantan Selatan yang dilengkapi dengan bebera foto masyarakat adat di daerah masing-masing, struktur organisasi perjuangan gerilya Kalsel menuju Pemerintahan Gubernur Tentara ALRI, serta benda-benda bersejarah lain seperti mesin tik kuno, kamera, cermin, dan sebagainya. Wisata Indonesia Surga dunia.
AntasariHasan Bassry
Sejarah Pemprop Kalsel
Sejarah Pemerintahan di Kalimantan Selatan diperkirakan dimulai
ketika berdiri Kerajaan Tanjung Puri sekitar abad 5-6 Masehi. Kerajaan
ini letaknya cukup strategis yaitu di Kaki Pegunungan Meratus dan di
tepi sungai besar sehingga di kemudian hari menjadi bandar yang cukup
maju. Kerajaan Tanjung Puri bisa juga disebut Kerajaan Kahuripan, yang
cukup dikenal sebagai wadah pertama hibridasi, yaitu percampuran
antarsuku dengan segala komponennya. Setelah itu berdiri kerajaan Negara
Dipa yang dibangun perantau dari Jawa.
Pada abad ke 14 muncul Kerajaan Negara Daha yang memiliki unsur-unsur
Kebudayaan Jawa akibat pendangkalan sungai di wilayah Negara Dipa.
Sebuah serangan dari Jawa menghancurkan Kerajaan Dipa ini. Untuk
menyelamatkan, dinasti baru pimpinan Maharaja Sari Kaburangan segera
naik tahta dan memindahkan pusat pemerintahan ke arah hilir, yaitu ke
arah laut di Muhara Rampiau. Negara Dipa terhindar dari kehancuran
total, bahkan dapat menata diri menjadi besar dengan nama Negara Daha
dengan raja sebagai pemimpin utama. Negara Daha pada akhirnya mengalami
kemunduran dengan munculnya perebutan kekuasaan yang berlangsung sejak
Pangeran Samudra mengangkat senjata dari arah muara, selain juga
mendirikan rumah bagi para patih yang berada di muara tersebut.
Pemimpin utama para patih bernama MASIH. Sementara tempat tinggal
para MASIH dinamakan BANDARMASIH. Raden Samudra mendirikan istana di
tepi sungai Kuwin untuk para patih MASIH tersebut. Kota ini kelak
dinamakan BANJARMASIN, yaitu yang berasal dari kata BANDARMASIH.
Kerajaan Banjarmasin berkembang menjadi kerajaan maritim utama sampai
akhir abad 18.
Sejarah berubah ketika Belanda menghancurkan keraton Banjar tahun 1612 oleh para raja Banjarmasin saat itu panembahan Marhum, pusat kerajaan dipindah ke Kayu Tangi, yang sekarang dikenal dengan kota Martapura.
Awal abad 19, Inggris mulai melirik Kalimantan setelah mengusir
Belanda tahun 1809. Dua tahun kemudian menempatkan residen untuk
Banjarmasin yaitu Alexander Hare. Namun kekuasaanya tidak lama, karena
Belanda kembali.
Babak baru sejarah Kalimantan Selatan dimulai dengan bangkitnya
rakyat melawan Belanda. Pangeran Antasari tampil sebagai pemimpin rakyat
yang gagah berani. Ia wafat pada 11 Oktober 1862, kemudian anak cucunya
membentuk PEGUSTIAN sebagai lanjutan Kerajaan Banjarmasin, yang
akhirnya dihapuskan tentara Belanda Melayu Marsose, sedangkan Sultan
Muhammad Seman yang menjadi pemimpinnya gugur dalam pertempuran. Sejak
itu Kalimantan Selatan dikuasai sepenuhnya oleh Belanda.
Daerah ini dibagi menjadi sejumlah afdeling, yaitu Banjarmasin,
Amuntai dan Martapura. Selanjutnya berdasarkan pembagian organik dari
Indisch Staatsblad tahun 1913, Kalimantan Selatan dibagi menjadi dua
afdeling, yaitu Banjarmasin dan Hulu Sungai. Tahun 1938 juga dibentuk
Gouverment Borneo dengan ibukota Banjarmasin dan Gubernur Pertama dr.
Haga.
Setelah Indonesia merdeka, Kalimantan dijadikan propinsi tersendiri
dengan Gubernur Ir. Pangeran Muhammad Noor. Sejarah pemerintahan di
Kalimanatn Selatan juga diwarnai dengan terbentuknya organisasi Angkatan
Laut Republik Indonesia ( ALRI ) Divisi IV di Mojokerto, Jawa Timur
yang mempersatukan kekuatan dan pejuang asal Kalimantan yang berada di
Jawa.
Dengan ditandatanganinya Perjanjian Linggarjati menyebabkan
Kalimantan terpisah dari Republik Indonesia. Dalam keadaan ini pemimpin
ALRI IV mengambil langkah untuk kedaulatan Kalimantan sebagai bagian
wilayah Indonesia, melalui suatu proklamasi yang ditandatangani oleh
Gubernur ALRI Hasan Basry di Kandangan 17 Mei 1949 yang isinya
menyatakan bahwa rakyat Indonesia di Kalimantan Selatan memaklumkan
berdirinya pemerintahan Gubernur tentara ALRI yang melingkupi seluruh
wilayah Kalimantan Selatan. Wilayah itu dinyatakan sebagai bagian dari
wilayah RI sesuai Proklamasi kemerdekaaan 17 agustus 1945. Upaya yang
dilakukan dianggap sebagai upaya tandingan atas dibentuknya Dewan Banjar
oleh Belanda.
Menyusul kembalinya Indonesia ke bentuk negara kesatuan kehidupan
pemerintahan di daerah juga mengalamai penataaan. Di wilayah Kalimantan,
penataan antara lain berupa pemecahan daerah Kalimantan menjadi 3
propinsi masing-masing Kalimantan Barat, Timur dan Selatan yang
dituangkan dalam UU No.25 Tahun 1956.
Berdasarkan UU No.21 Tahun 1957, sebagian besar daerah sebelah barat
dan utara wilayah Kalimantan Selatan dijadikan Propinsi Kalimantan
Tengah. Sedangkan UU No.27 Tahun 1959 memisahkan bagian utara dari
daerah Kabupaten Kotabaru dan memasukkan wilayah itu ke dalam kekuasaan
Propinsi Kalimantan Timur. Sejak saat itu Propinsi Kalimantan Selatan
tidak lagi mengalami perubahan wilayah, dan tetap seperti adanya. Adapun
UU No.25 Tahun 1956 yang merupakan dasar pembentukan Propinsi
Kalimantan Selatan kemudian diperbaharui dengan UU No.10 Tahun 1957 dan
UU No.27 Tahun 1959( sumb: situs Pemprop Kalsel)
Sejarah Kalsel
Bagi Kalimantan Selatan, tanggal 1 Januari 1957 benar-benar merupakan
momentum penting dalam sejarahnya, mengingat pada tanggal itu
Kalimantan Selatan resmi menjadi Provinsi yang berdiri sendiri di Pulau
Kalimantan, bersama-sama dengan Provinsi Kalimantan Timur dan Provinsi
Kalimantan Barat. Sebelumnya ketiga Provinsi tersebut berada dalam satu
Provinsi, yaitu Provinsi Kalimantan.
Sebelum menjadi Provinsi yang berdiri sendiri, sesungguhnya
Kalimantan Selatan sudah merupakan daerah yang paling menonjol di Pulau
Kalimantan, khususnya Kota Banjarmasin yang merupakan pusat kegiatan
politik, ekonomi/perdagangan, dan pemerintahan, baik semasa penjajahan
maupun pada awal kemerdekaan.
Perkembangan kehidupan pemerintahan dan kenegaraan di daerah
Kalimantan Selatan sampai dengan permulaan abad 17 masih sangat kabur
karena kurangnya data sejarah. Adanya Hikayat Raja-Raja Banjar dan
Hikayat Kotawaringin tidak cukup memberikan gambaran yang pasti mengenai
keberadaan Kerajaan-kerajaan tersebut.
Namun demikian berdasarkan kedua hikayat tersebut dapat diketahui
bahwa pada abad 17 salah satu tokoh yaitu Pangeran Samudera (cucu
Maharaja Sukarama) dengan dibantu para Patih bangkit menentang kekuasaan
pedalaman Nagara Daha dan menjadikan Bajarmasin di pinggir Sungai Kwin
sebagai pusat pemerintahannya (daerah ini disebut Kampung Kraton).
Pemberontakan Pangeran Samudera tersebut merupakan pembuka jaman baru
dalam sejarah Kalimantan Selatan sekaligus menjadi titik balik
dimulainya periode Islam dan berakhirnya jaman Hindu. Sebab dialah yang
menjadi cikal bakal Islam Banjar dan pendiri Kerajaan Banjar.
Dalam perkembangan sejarah berikutnya pada Tahun 1859 seorang
Bangsawan Banjar yaitu Pangeran Antasari mengerahkan rakyat Kalimantan
Selatan untuk melakukan perlawanan terhadap kaum kolonialisme Belanda
meskipun akhirnya pada Tahun 1905 perlawanan-perlawanan berhasil
ditumpas oleh Belanda.
Kelancaran hubungan dengan Pulau Jawa turut mempengaruhi perkembangan
di Kalimantan Selatan. Bertumbuhnya pergerakan-pergerakan kebangsaan di
Pulau Jawa dengan cepat menyebar kedaerah Kalimantan Selatan, hal ini
tercermin dengan dibentuknya wadah-wadah perjuangan pada Tahun 1912 di
Banjarmasin seperti berdirinya Cabang-cabang Sarikat Islam di seluruh
Kalimantan Selatan. Seiring dengan itu para pemuda Kalimantan terdorong
membentuk Organisasi Kepemudaan yaitu Pemuda Marabahan, Barabai dan
lain-lain, yang kemudian pada Tahun 1929 terbentuk Persatuan Pemuda
Borneo.
Organisasi-organisasi perjuangan tersebut merupakan wadah untuk
menyebarluaskan kesadaran kebangsaan melawan penjajahan Kolonial
Belanda.
Pada periode pasca Proklamasi Kemerdekaan merupakan momentum yang
paling heroik dalam sejarah Kalimantan Selatan, dimana pada tanggal 16
Oktober 1945 dibentuk Badan Perjuangan yang paling radikal yaitu Badan
Pemuda Republik Indonesia Kalimantan (BPRIK) yang dipimpin oleh
Hadhariyah M. dan A. Ruslan, namun dalam perjalanan selanjutnya gerakan
perjuangan ini mengalami hambatan, terutama dengan disepakatinya
perjanjian Linggarjati pada tanggal 15 Nopember 1945.
Berdasarkan perjanjian ini ruang gerak pemerintah Republik Indonesia menjadi terbatas hanya pada kawasan Pulau Jawa, Madura dan Sumatera sehingga organisasi-organisasi perjuangan di Kalimantan Selatan kehilangan kontak dengan Jakarta, kendati akhirnya pada tahun 1950 menyusul pembubaran Negara Indonesia Timur yang dibentuk oleh kaum kolonial Belanda, maka Kalimantan Selatan kembali menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari Republik Indonesia sampai saat ini( sumb:situs Depdagri)
Berdasarkan perjanjian ini ruang gerak pemerintah Republik Indonesia menjadi terbatas hanya pada kawasan Pulau Jawa, Madura dan Sumatera sehingga organisasi-organisasi perjuangan di Kalimantan Selatan kehilangan kontak dengan Jakarta, kendati akhirnya pada tahun 1950 menyusul pembubaran Negara Indonesia Timur yang dibentuk oleh kaum kolonial Belanda, maka Kalimantan Selatan kembali menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari Republik Indonesia sampai saat ini( sumb:situs Depdagri)
KISAH ‘KERAJAAN BANJAR’ SAMPAI ‘BANUA BANJAR’ HINGGA
BERDIRINYA PEMERINTAHAN PROPINSI KALIMANTAN SELATAN
Pangeran Samudera diangkat menjadi raja oleh Patih Masih, Patih
Balit, Patih Muhur, dan Patih Balitung. Di kampung Banjarmasih didirikan
sebuah Kraton, dengan rumah asal, rumah Patih Masih sendiri. Kampung
Banjarmasih disebut sampai sekarang Kampung Kraton (sekarang Kampung
Kuin). Di sini terdapat kuburan Raja Banjar yang pertama sampai dengan
Raja Banjar yang ketiga.
Ketika terjadi penyerbuan ke Bandar Muara Bahan (sekarang Marabahan),
semua penduduknya dan para pedagang dipindah ke Banjarmasih. Penyerbuan
ke Muara Bahan menimbulkan peperangan dengan Negara Daha yang dipimpin
oleh Pangeran Tumenggung yang kemudian dengan armada sungainya menyerang
Banjarmasih. Di ujung Pulau Alalak terjadi perang sungai yang hebat,
tetapi Pangeran.Tumenggung akhirnya kalah, armadanya hancur oleh
Pangeran Samudera. Sejak itulah terjadi perang yang berlarut-Iarut.
Pangeran Samudera aklhirnya minta bantuan Demak (Kerajaan Islam di
Pulau Jawa), Karena ikatan 2 kerajaan yang sangat baik dan atas dasar
bahwa Pangeran Samudera adalah sah dan lebih berhak atas tahta kerajaan
dibanding Pangeran Tumenggung yang hanya seorang Paman Demak bersedia
lalu menyiapkan puluhan armada kapal perang beserta laskarnya dan
seorang pemimpinnya. Setelah Demak datang di Bandarmasih, Penyerbuan
ditunda sampai musim air pasang datang hingga sungai dapat dilayari oleh
kapal-kapal besar mereka, sambil juga menunggu musim panen selesai
untuk logistik pasukan dan makanan rakyat.
Pada saat menunggu beberapa bulan persiapan penyerbuan inilah
Pangeran Samudera mulai tertarik dengan ajaran Islam yang setiap hari
sholat berjamaah dilakukan oleh seluruh Laskar Demak serta kegiatan
ritual-ritual Agama Islam yang dipimpin oleh Khatib Dayan. Pangeran
Samudera (PS) yang sebelumnya beragama Hindu Syiwa banyak bertanya
kepada Khatib Dayan (KD); seperti berikut DIBAWAH ini ;
PS= “Apa yang sedang diperbuat …? KD= “Oh…itu tadi kami sedang
sholat..” PS= “Apa itu sholat..?” KD= “Kami menyembah Tuhan kami
yaitu : Allah , Tuhan Kami” dst…dst….
Pangeran Samuderapun akhirnya tertarik dan mau belajar, hingga akhirnya secara sukarela menyatakan ingin memeluk Islam. Karena Ia seorang Pangeran yang sangat di cintai oleh maka sebagian besar rakyat pada akhirnya juga memeluk Islam. Demikian tiga hari sesudah Hari Raya Idul Fitri, diadakanlah peng-Islaman atas Raja dan rakyatnya. Pangeran Samudera berganti nama menjadi Pangeran Suriansyah.
Dengan semangat baru persaudaraan Islam melawan kezaliman pamannya sendiri yaitu Pangeran Tumenggung yang telah merebut Tahta dari Bapaknya ketika Ia masih kecil. Dan dengan persiapan yang cukup matang mereka berangkat ke Hulu sungai/pedalaman penggempur Kerajaan Negara Daha. Persiapan terakhir peperangan ini, dilakukan pada tanggal 6 September 1526 setelah hampir 40 hari bertempur. Di Jingah Besar, Pangeran Samudera dapat mengalahkan pasukan Daha. Ini merupakan kemenangan besar yang pertama. Yang terakhir dilakukan pada tanggal 24 September 1526.
Pertempuran tak lagi dilakukan antara pasukan dengan pasukan, tetapi Duel pertarungan antara raja yang bermusuhan yang beragama Syiwa, dengan yang baru masuk Islam. Pangeran Tumenggung melawan Pangeran Samudera. Pada saat duel Pangeran Samudera tak mau melawan pamannya, Pangeran Tumenggung.
Pangeran Samuderapun akhirnya tertarik dan mau belajar, hingga akhirnya secara sukarela menyatakan ingin memeluk Islam. Karena Ia seorang Pangeran yang sangat di cintai oleh maka sebagian besar rakyat pada akhirnya juga memeluk Islam. Demikian tiga hari sesudah Hari Raya Idul Fitri, diadakanlah peng-Islaman atas Raja dan rakyatnya. Pangeran Samudera berganti nama menjadi Pangeran Suriansyah.
Dengan semangat baru persaudaraan Islam melawan kezaliman pamannya sendiri yaitu Pangeran Tumenggung yang telah merebut Tahta dari Bapaknya ketika Ia masih kecil. Dan dengan persiapan yang cukup matang mereka berangkat ke Hulu sungai/pedalaman penggempur Kerajaan Negara Daha. Persiapan terakhir peperangan ini, dilakukan pada tanggal 6 September 1526 setelah hampir 40 hari bertempur. Di Jingah Besar, Pangeran Samudera dapat mengalahkan pasukan Daha. Ini merupakan kemenangan besar yang pertama. Yang terakhir dilakukan pada tanggal 24 September 1526.
Pertempuran tak lagi dilakukan antara pasukan dengan pasukan, tetapi Duel pertarungan antara raja yang bermusuhan yang beragama Syiwa, dengan yang baru masuk Islam. Pangeran Tumenggung melawan Pangeran Samudera. Pada saat duel Pangeran Samudera tak mau melawan pamannya, Pangeran Tumenggung.
Pangeran Samudera lalu membuang senjatanya, rela mati dan tak mau
melukai apalagi membunuh pamannya sendiri saat itulah pamannya merasa
iba hatinya. Ialu memeluk kemenakannya itu dan mengalah, menyerahkan
semua regalia tahta kerajaan kepadanya.
Demikianlah tanggal 24 September 1526, hari Sabtu Pon, dijadikan
:Hari kemenangan Pangeran Samudera. Hari itu telah diserahkannya regalia
kerajaan Negara Daha ke Pangeran Samudera oleh Pangeran Tumenggung.dan
merupakan cikal bakal dynasti Kerajaan Banjar. Pada tanggal, bulan dan
tahun ini pulalah Pemerintah Kota Banjarmasin menetapkan sebagai hari
jadi kota Banjarmasin yang diperingati setiap tahunnya tanggal 24
September, 1526
Setelah Negara Daha kalah. semua penduduknya diangkut ke Banjarmasih.
Penduduk Ibukota Kerajaan baru itu terdiri dari penduduk Bandarmasih
sendiri (Oloh Masih), penduduk Bandar Muara Bahan, penduduk Kota lama
Negara Daha.
SEJARAH PEMERINTAHAN PROPINSI KALIMANTAN SELATAN
Perkembangan pemerintahan. di Kalimantan Selatan tidak lepas dari perkembangan pemerinta han negara Republik
Indonesia pada umumnya, karena Pemerintah Propinsi. Daerah Tingkat I
Kalimantan Selatan merupakan bagian integral dari Pemerintah Negara
Kesatuan Republik Indonesia.Oleh karena itu., untuk melihat perkembangan
sampai terbentuk.
nya Pemerintah Propinsi Daerah Tingkat I Kalimantan Selatan, dapat dikemukakan sejarah singkat dari Zaman Kerajaan
Hindia Belanda, Pendudukan Jepang dan Zaman Kemerdekaan sampai sekarang.
1.Zaman Kerajaan.
Jauh sebelum zaman Kolonial Belanda mendu¬duki Tanah Air kita, di
Daerah Kalimantan sudah ada sistem pemerintahan di bawah pimpinan Empu
Jatmika beserta dua orang anaknya yaitu Empu Mandastana dan Lambung
Mangkurat.
Kemudian setelah Lambung Mangkurat mengambil anak Raja Majapahit
untuk dikawinkan dan dinobatkan sebagai raja dengan nama Pangeran
Surianata, terbentuklah suatu sistem pemerintahan yang teratur sebagai
kerajaan dengan sebutan Keraja¬an Banjar.
Keturunan PangeranSurianata inilah yang ber¬abad-abad berkuasa dan
memerintah Kerajaan Banjar. Dalam perjalanan pemerintahannya banyak
tercatat peristiwa-peristiwa penting antara lain terbentuknya Kesultanan
Banjarmasin, pada tanggal 24 Sep¬tember 1526, dengan tampuk pimpinan
Sultan Suriansyah.
Sebagaimana diketahui bahwa Kolonial Belanda menduduki Tanah Air kita
semula dengan nama VOC hanya semata bertujuan berdagang. Namun,
akhirnya berubah dengan melakukan agresi untuk menguasai bahkan kemudian
menjajah Indonesia term~suk Kerajaan Banjar.
Jadi pada waktu itu banyak terjadi perlawanan bahkan pertempuran. Tetapi karena TentaraBelanda memiliki peralatan yang lebih baik dan pula dengan akal yang licik, akhirnya Kerajaan Banjar runtuh dan tenggelam dan tidak berarti apa-apa lagi.
Jadi pada waktu itu banyak terjadi perlawanan bahkan pertempuran. Tetapi karena TentaraBelanda memiliki peralatan yang lebih baik dan pula dengan akal yang licik, akhirnya Kerajaan Banjar runtuh dan tenggelam dan tidak berarti apa-apa lagi.
Selanjutnya dengan Besluit Gubernur General tanggal 17 Desember 1859,
Kerajaan Banjar dinyata¬kan sebagai Daerah Gubernemen Belanda, dan pada
tanggal 11 Desember 1860 kemudian Belanda mem¬proklamasikan jatuhnya
Kerajaan Banjar menjadi Pemerintahan yang langsung berada di bawah
kekua¬saannya maka seluruh rakyat dituntut mentaati segala peraturan
yang dikeluarkan.penguasa.
2.Zaman Hindia Belanda
Tahun 1922 Pemerintah Hindia Belanda telah mengeluarkan Bestu
urschervorming Wet (stb. 1922 No. 216) yaitu Undang-undang tentang
Pemerintah
Hindia Belanda dengan menyisipkan pasal ll0 – 122 pada Indische
Staate Regeling. Undang-undang ini memungkinkan pembentukan otonom yang
lebih besar dari Gewast lama dengan sebutan “Province”.
Kemudian Undang-undang’ itu disusul dengan terbitnya Province
Ordonantie L.N. 1924, No. 78 yang selanjutnya diikuti dengan pembentukan
Pro¬pinsi-propinsi di Jawa dan Madura, sedangkan bagi daerah di luar
Jawa berlaku Staate Gemente Ordonan¬tie Buitengawesten (Stb. 1938, No.
131).
Menurut Stb. 1936, No. 68 telah ditetapkan Ordanantie pembentukan
Gouvernement Sumatera, Borneo serta Timur Besar dan masing-masing
Pemerintahan dipimpin oleh Gubernur atas nama Gu¬bernur Jenderal.
Selanjutnya berdasarkan Stb. 1938, No. 352 di¬sebutkan bahwa
Gouvernement Van Borneo dengan ibukotanya Banjarmasin, meliputi dua
Karesidenan, yaitu:
(1) Residentie Inider en Waster Afdeling van Borneo,dan
(2) Residentie Waster Afdeling van Borneo.
3.Zaman Pendudukan Jepang
Pada masa pendudukan Jepang, kepulauan di luar pulau Jawa termasuk
Borneo pada waktu itu,di bawah kekuasaan Pasukan Laut yang berkedudukan
di Makasar.
Sistem pemerintahan yang berlaku berjalan secara sentralisasi melalui Residen, Bupati dan Walikota. Sedangkan dewan yang ada di Propinsi, Kabu¬paten dan Kotamadya dihapuskan. Hal ini dimaklumi karena keadaan perang waktu itu.
4.Zaman Kemerdekaan
Terbentuknya daerah otonom Propinsi Kalimantan, pada tanggal 19
Agustus 1945, PPKI menetap¬kan bahwa Kalimantan atau Borneo pada waktu
itu, adalah salah satu Propinsi dari Daerah Negara Republik Indonesia
yang dibagi menjadi delapan Propinsi lainnya di Indonesia, masing-masing
dipimpin oleh seorang Gubernur.
Dalam hubungan ini pada tanggal 2 September 1945 di Jakarta telah
dilakukan pelan¬tikan Ir. Pangeran Muhammad Noor sebagai Guber¬nur
Borneo dan disusul dengan berdirinya Komite Nasional Indonesia di
Banjarmasin, Samarinda, dan Pontianak pada tanggal 14 Oktober 1945.
Kemudian menjelang berdirinya Negara Kesatu¬an Republik Indonesia,
oleh Presiden RIS dipandang perlu membentuk Daerah-daerah Propinsi yang
semu¬la terdiri dari delapan Propinsi menjadi sepuluh Dae¬rah Otonom
Propinsi. Salah satu dari Daerah Otonom tersebut adalah, Daerah Otonom
Propinsi Kalimantan.
Berdasarkan hal tersebut di atas serta dengan memperhatikan
perkembangan politik di Daerah Kalimantan, maka Pemerintah menganggap
perlu se¬gera melegalisirkan daerah-daerah yang dibentuk se¬mentara
dengan membentuk secara resmi daerah-¬daerah yang berhak mengatur dan
mengurus rumah tangganya sendiri,
Atas dasar Undang-Undang No¬mor 11 Tahun 1948,dikeluarkan
Undang-¬Undang Nomor 2 tahun 1953, tentang Pembentukan Daerah Otonom
Propinsi Kalimantan (L.N.R.I No¬mor 8 tahun 1953) antara lain dalam
pasal l ayat (1) menyebutkan bahwa :
Daerah Propinsi Kalimantan yang bersifat Admi¬nistratif seperti
dimaksudkan dalam PP.Nomor 21 tahun 1950,meliputi
Keresidenan¬-karesidenan Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, dan
Kalimantan Barat, dibentuk sebagai “Daerah Otonom Propinsi Kalimantan
Selatan” yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.
Perkembangan selanjutnya terjadi pada tahun 1957, yaitu dengan
diberlakukannya Undang-Undang Nomor 25 tahun 1956, tentang Pembentukan
Daerah Otonom Propinsi Kalimantan Selatan, Kali¬mantan Timur dan
Kalimantan. Barat. (L.N.R.I. Nomor 65 tahun 1956) pada tanggal 1 Januari
1957. Atas dasar itu terjadilah peristiwa sejarah yang sangat penting,
yaitu dilakukannya serah terima kekuasaan Pemerintahan antara Gubernur
Kalimantan Milona kepada:
1). M. Syarkawi …………………………….Akting Gubernur Kalimantan Selatan:
2). Bambang Pranoto …………………….Akting Gubernur Kalimantan Timur, dan
3). A.R. Aflos ……………………………….Akting Gubernur Kelimantan Barat
Selanjutnya, pada tanggal 14 Agustus 1950, Gu¬bernur Kalimantan DR.
Mas Murdjani dengan kepu¬tusannya nomor: 186/92/14, untuk sementara
waktu sambil menunggu tindak lanjut dari Pemerintah Pusat, telah
dibentuk beberapa Daerah Kabupaten, Daerah Istimewa, dan Kotapraja yang
mengatur rumah tang¬ga sendiri di bagian wilayah tertentu di Propinsi
Kalimantan Selatan. Di samping itu, dengan berpedoman pa¬da PP. No. 139
tahun 1950, oleh Gubernur Kaliman¬tan di daerah-daerah tersebut juga
dibentuk DPR dan DPD.
Akibat keputusan tersebut menimbulkan berbagai kesukaran dan keraguan
yang berkaitan dengan tugas atau pekerjaan yang dijalankan oleh DPR
mau¬pun DPD didaerah-daerah tersebut.
Nama-nama Pimpinan Wilayah/Daerah Propinsi Kalimantan Selatan hingga sekarang,
Sejak kemerdekaan Republik Indonesia diprok¬lamasikan hingga sekarang
ini pimpinan Wilayah/ Daerah yang pernah dan sedang memangku jabatan
sebagai Gubernur /Kepala Daerah Tingkat I Propinsi Kalimantan Selatan,
adalah sebagai berikut:
1) Ir. Pangaran Muhammad Noor 1945 -1950
2) Dr. Mas Murdjani 1950 -1953
3) Raden Tumenggung Arya Milano1953 -1957
4) M. Syarkawi 1957 – 1959
5) H. Maksid 1960 – 1963
6) H. AbuYazid Bustomi 1963
7) H. Aberani Sulaiman 1963 -1969
8) M. Jamani 1969 -1970
9) Subardjo Sorosuroyo 1970 -1980
10)Mistar Tjokrokoesoemo 1980 -1984
11)Ir. H.M. Said 1985 – 1995
12)Drs. H. Gt. Hasan Aman1995 – 2000
13)Drs. H.Syahril Darham2000 -2005
14)Drs. H. Rudy Ariffin2005 – sekarang
(diambil dari sultanborneo.com)
Pangeran Hidayatullah
Sultan Hidayatullah adalah salah seorang pemimpin Perang Banjar
setelah beliau diangkat langsung oleh Sultan Adam menjadi Sultan Banjar
untuk meneruskan pemerintahan kerajaan Banjar menggantikan kakeknya-nya
(Sultan Adam). Ayah beliau adalah Sultan Muda Abdurrahman bin Sultan
Adam, sedangkan ibunda beliau adalah Ratu Siti. Di masa pemerintahan
Sultan Adam Alwazikoebillah, beliau menjabat sebagai mangkubumi
Kesultanan Banjar. Beliau adalah Sultan Banjar yang dengan tipu muslihat
Penjajah Belanda ditangkap dan kemudian diasingkan bersama dengan
anggota keluarga dan pengiringnya ke Cianjur.
Di sana beliau tinggal bersama dengan keluarga Sultan Kesultanan Pasir yang juga diasingkan dalam suatu pemukiman yang sekarang dinamakan Kampung Banjar/Gang Banjar. Sultan Hidayatullah wafat dan dimakamkan di Cianjur. Sultan Hidayatullah mendapat Bintang kenegaraan dari pemerintah RI.
Di sana beliau tinggal bersama dengan keluarga Sultan Kesultanan Pasir yang juga diasingkan dalam suatu pemukiman yang sekarang dinamakan Kampung Banjar/Gang Banjar. Sultan Hidayatullah wafat dan dimakamkan di Cianjur. Sultan Hidayatullah mendapat Bintang kenegaraan dari pemerintah RI.
Keturunan Pangeran Hidayatullah masih menyimpan Surat Wasiat Sultan
Adam Untuk Pangeran Hidayatullah yang Naskah Aslinya tersimpan baik oleh
Ratu Yus Roostianah Keturunan garis ke-3 / cicit dari Pangeran
Hidayatullah bertanggal 12 bulan Shofar 1259, sebagai saksi pertama
Mufti Haji Jamaludin dan saksi kedua pengulu Haji Mahmut. Dalam surat
tersebut Sultan Adam berwasiat kepada keturunannya, segala raja-raja
(raja/penguasa lokal) dan rakyat Banjar untuk me-Raja-kan Pangeran
Hidayatullah sebagai Sultan Banjar penggantinya dan memberikan daerah
kekuasaan (tanah lungguh) yang meliputi wilayah yang sekarang menjadi
sebagian Kabupaten Banjar dan Kota Banjarbaru (Distrik Riam Kanan), dan
seluruh Kabupaten Tapin(Distrik Margasari dan Banua Ampat). Wilayah
tersebut hanya sebagian dari wilayah kerajaan Banjar, jadi tidak
termasuk wilayah Banua Lima yang dikuasai Kiai Adipati Danu Raja dan
wilayah Mangkatip (sebagian Barsel) dan wilayah suku Dayak Maanyan Paju
Sapuluh (sebagian Bartim) yang dikuasai Puteri Mayang Sari.
Wilayah kesultanan Banjar lainnya di kota Banjarmasin dan sekitarnya diantaranya Kampung Kuin (Banjarmasin Utara), Kampung Sungai Mesa, dan lain-lain. Sedangkan daerah-daerah di luar wilayah tersebut merupakan wilayah Hindia Belanda yaitu sebagian besar wilayah yang saat ini menjadi Kota Banjarmasin, sebagian Kabupaten Barito Kuala dan Kabupaten Tanah Laut.(wapedia)
Wilayah kesultanan Banjar lainnya di kota Banjarmasin dan sekitarnya diantaranya Kampung Kuin (Banjarmasin Utara), Kampung Sungai Mesa, dan lain-lain. Sedangkan daerah-daerah di luar wilayah tersebut merupakan wilayah Hindia Belanda yaitu sebagian besar wilayah yang saat ini menjadi Kota Banjarmasin, sebagian Kabupaten Barito Kuala dan Kabupaten Tanah Laut.(wapedia)
Pengeran Antasari
Di kota Banjarmasin pada tahun 1809 Pangeran Antarasi lahir. Dan
selalu berkehidupan diluar lingkungan istana, padahal ia termasuk
keluarga Sultan Banjar. Karena besar di tengah-tengah rakyat biasa,
Antarasi menjadi dekat dengan rakyat, mengenal perasaaan dan penderitaan
mereka.
Pada saat itu pula Belanda sedang hangat-hangatnya melakukan gencar
melemahkan kerajaan Banjar. Balanda melakukan adu domba terhadap
golongan-golongan istana sehingga terjadi terpecah-pecah. Dan pada saat
itu pengangkatan seorang sultan pun Belanda yang menentukan.
Tahun 1859, Sultan Tamjid diangkat menjadi sultan kerajaan Banjar,
padahal yang berhak naik adalah Pangeran Hidayat. Sultan Tamjid tidak
disukai oleh rakyat sebab terlalu memihak kepada Belanda. Pangeran
Antasari berusaha membela Pangeran Hidayat, kemudian Pangeran Antasari
dibantu beberapa kepala daerah Hulu Sungai, Martapura, Barito, Pleihari,
Kahayan, Kapuas, dll semua bertekad untuk mengusir Belanda dari
kerajaan Banjar. Maka tak terelakan pertempuran pun terjadi tanggal 18
April 1859, dalam pertempuran ini Belanda menghadapi kesulitan. Lalu
Belanda membujuk Pangeran Antasari dengan memberikan janji yang
muluk-muluk asal bersedia menghentikan perang, namun bujukan itu ia
tolak.
Dalam kondisi yang terjepit, Pangeran Hidayat menyerang kepada
Belanda dan diikuti kepala-kepala daerah lainnya. Namun Pangeran
Antasari tetap melanjutkan perjuangannya. Baginya adalah pantang
berdamai dengan Belanda, apalagi menyerah.
Pada bulan Oktober 1862 ia merencanakan serangan besar-besaran
terhadap benteng Belanda, kekuatan sudah dikumpulkan. Tetapi pada saat
itu berjangkit wabah penyakit cacar. Pengaran Antasari pun terkena. Dan
wabah tersebut akhirnya merenggut nyawanya. Ia meninggal dunia di Bayan
Begak (Kalimantan Tengah), pada tanggal 11 Oktober 1862 dan dimakamkan
di Banjarmasin.
Nama :
Pangeran Antasari
Tahun : 1809 – 1862 Status : Pahlawan Kemerdekaan Nasional (sumb situs:jagoan)
Pangeran Antasari
Pangeran Antasari (lahir: 1797, Kalimantan Selatan –wafat: Bayan
Begak, Murung Raya, Kalimantan Tengah, 11 Oktober 1862) adalah seorang
Pahlawan Nasional Indonesia. Beliau meninggal karena penyakit cacar di
pedalaman sungai Barito, Kalimantan Tengah. Kerangkanya dipindahkan ke
Banjarmasin dan dimakamkan kembali di Taman Makam Perang Banjar (Komplek
Makam Pangeran Antasari), Banjarmasin Utara, Banjarmasin. Perjuangan
beliau dilanjutkan oleh keturunannya Sultan Muhammad Seman dan cucunya
Ratu Zaleha.
Pada 14 Maret 1862 menyandang gelar Panembahan Amiruddin Khalifatul
Mukminin dihadapan para kepala suku Dayak dan adipati (gubernur)
penguasa wilayah Tanah Dusun Atas, Kapuas dan Kahayan yaitu Kiai Adipati
Jaya Raja.
Semasa muda nama beliau adalah Gusti Inu Kartapati. Ayah Pangeran
Antsari adalah Pangeran Masohut (Mas’ud) bin Pangeran Amir bin Sultan
Muhammad Aminullah dan ibunya Gusti Hadijah binti Sultan Sulaiman.
Pangeran Antasari mempunyai adik perempuan yang bernama Ratu Antasari
yang menikah dengan Sultan Muda Abdurrahman tetapi meninggal lebih dulu
sebelum memberi keturunan.
Ia pernah meledakkan kapal milik Belanda yang bernama Kapal Onrust
dan juga dengan pemimpin-pemimpinnya yang bernama Letnan der Velde dan
Letnan Bangert.(Wikipedia)
Sultan Adam
Sultan Adam Al-Watsiq Billah bin Sultan Sulaiman Saidullah adalah
Sultan Banjar yang memerintah antara tahun 1825 s.d 1857. Sultan Adam
dilahirkan di desa Karang Anyar, Karang Intan, Kabupaten Banjar,
Kalimantan Selatan, Indonesia.
Sultan Adam putra tertua dari Sultan Sulaiman Rahmatullah yang
berjumlah 23 orang. Sultan Adam memiliki saudara kandung sebanyak 5
orang dan saudara seayah 17 orang.
Pada masa Sultan Adam, pusat pemerintahan berada di Keraton, Sasaran dan Pasayangan (Jl. Demang Lehman), Martapura.
Pada 28 September 1849, Gubernur Jenderal J.J. Rochussen datang ke
Pengaron di Kesultanan Banjar untuk meresmikan pembukaan tambang batu
bara Hindia Belanda pertama yang dinamakan Tambang Batu Bara Oranje
Nassau “Bentang Emas”.
Beliau mendapat gelar Sultan Muda sejak tahun 1782. Ketika wafatnya tahun 1857 terjadi krisis suksesi.(Wikipedia)
Perkembangan Pers di kalsel
————————————–Ketua PWI Kalsel
PERAN MEDIA MASSA PADA MASA PERJUANGAN KEMERDEKAAN INDONESIA DI KALIMANTAN SELATAN
DESEMBER 10, 2011
DESEMBER 10, 2011
Oleh WAJIDI
ABSTRAK
Media massa khususnya surat kabar dan majalah mempunyai peran penting dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia di Kalimantan Selatan. Pada masa pergerakan kebangsaan, media massa berperan menumbuhkan rasa nasionalisme dan patriotisme. Selama pendudukan Jepang, media massa tetap berusaha dengan berbagai siasat untuk tetap berpihak kepada perjuangan kemerdekaan meski menjadi suara pemerintah pendudukan Jepang. Dan selama perang kemerdekaan, media massa turut berjuang mempertahankan proklamasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945, menolak ide federalisme dan pembentukan negara Kalimantan serta mendukung wilayah Kalimantan Selatan menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kata kunci: media massa, perjuangan kemerdekaan
PENDAHULUAN
Sejarah lokal Kalimantan Selatan pada rentang waktu antara tahun 1900 s.d. 1950 mempunyai makna yang sangat penting dalam sejarah Indonesia, karena merupakan sebuah proses kesinambungan sejarah perjuangan kemerdekaan dari tiga periode sejarah yakni periode Pergerakan Kebangsaan, periode Pendudukan Jepang, dan periode Revolusi Fisik 1945-1949 sampai dengan Pengakuan Kedaulatan di tahun 1950.
Periode terakhir disebut juga periode Perang Kemerdekaan karena mempunyai makna bahwa ketika Proklamasi Kemerdekaan dikumandangkan maka lahirlah sebuah negara yang merdeka dan berdaulat. Manakala kemerdekaan itu ingin diambil alih lagi oleh Belanda, maka tidak ada jalan lain bagi bangsa Indonesia, kecuali perang mempertahankan kemerdekaan melalui perjuangan bersenjata maupun perjuangan di jalur politik.
Wartawan dan karyawan Semarak/Surat Kabar Kalimantan Berdjuang (1947-1952). Searah jarum jam, berdiri: Siti Chasrimunah, Zafry Zamzam, Yusni Antemas, Zainal, Aliansyah Luji, A. Gafar (Tata Usaha). Berjongkok: Artum Artha, anak-anak, Abdul Gani (loper), Arifin (Pembantu Tata Usaha)
Namun pada dasarnya, periode perang kemerdekaan ini melibatkan hampir seluruh unsur potensi bangsa, tidak hanya perjuangan dengan cara mengangkat senjata, melalui partai politik atau jalur diplomasi di meja perundingan, namun juga melalui jalur media massa, khususnya surat kabar dan majalah. Pada masa revolusi fisik peran media massa itu tidaklah kecil, karena melalui media massa itulah berita proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 menyebar ke seluruh penjuru tanah air bahwa Indonesia telah merdeka.
Keberadaan dan peran media massa pada masa perjuangan kemerdekaan Indonesia, sesungguhnya dapat ditelusuri sejak dasawarsa pertama awal abad ke-20, yakni saat terjadi kebangkitan nasionalisme dan patriotisme sebagai reaksi terhadap kolonialisme dan imperialisme.
Kalimantan Selatan (termasuk Kalimantan Tengah sekarang) merupakan bagian dari konstelasi pergerakan kebangsaan Indonesia itu. Pada periode yang dikenal sebagai periode pergerakan kebangsaan, media massa berperan menginformasikan pergerakan kebangsaan di Jawa dan Sumatera, memberitakan dan mengkritik ketidakadilan yang dilakukan Pemerintah Hindia Belanda, dan menyuarakan perlunya kesadaran untuk mengangkat harkat dan martabat rakyat yang terjajah.
Penyemaian semangat nasionalisme dan patriotisme untuk meraih kemerdekaan yang dilakukan melalui jalur media massa di samping jalur pendidikan dan organisasi pergerakan terus mengkristal pada periode-periode berikutnya dan kemudian menjadi modal utama dalam merebut dan mempertahankan proklamasi kemerdekaan 17 Agustustus 1945.
Tulisan ini dimaksudkan untuk memaparkan tentang peran media massa pada masa perjuangan kemerdekaan Indonesia di Kalimantan Selatan, yakni pada periode Pergerakan Kebangsaan (Perintis Kemerdekaan), periode Pendudukan Jepang, dan periode Perang Kemerdekaan (Revolusi Fisik 1945-1949), sampai dengan Pengakuan Kedaulatan di tahun 1950.
Sejarah lokal Kalimantan Selatan pada rentang waktu antara tahun 1900 s.d. 1950 mempunyai makna yang sangat penting dalam sejarah Indonesia, karena merupakan sebuah proses kesinambungan sejarah perjuangan kemerdekaan dari tiga periode sejarah yakni periode Pergerakan Kebangsaan, periode Pendudukan Jepang, dan periode Revolusi Fisik 1945-1949 sampai dengan Pengakuan Kedaulatan di tahun 1950.
Periode terakhir disebut juga periode Perang Kemerdekaan karena mempunyai makna bahwa ketika Proklamasi Kemerdekaan dikumandangkan maka lahirlah sebuah negara yang merdeka dan berdaulat. Manakala kemerdekaan itu ingin diambil alih lagi oleh Belanda, maka tidak ada jalan lain bagi bangsa Indonesia, kecuali perang mempertahankan kemerdekaan melalui perjuangan bersenjata maupun perjuangan di jalur politik.
Wartawan dan karyawan Semarak/Surat Kabar Kalimantan Berdjuang (1947-1952). Searah jarum jam, berdiri: Siti Chasrimunah, Zafry Zamzam, Yusni Antemas, Zainal, Aliansyah Luji, A. Gafar (Tata Usaha). Berjongkok: Artum Artha, anak-anak, Abdul Gani (loper), Arifin (Pembantu Tata Usaha)
Namun pada dasarnya, periode perang kemerdekaan ini melibatkan hampir seluruh unsur potensi bangsa, tidak hanya perjuangan dengan cara mengangkat senjata, melalui partai politik atau jalur diplomasi di meja perundingan, namun juga melalui jalur media massa, khususnya surat kabar dan majalah. Pada masa revolusi fisik peran media massa itu tidaklah kecil, karena melalui media massa itulah berita proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 menyebar ke seluruh penjuru tanah air bahwa Indonesia telah merdeka.
Keberadaan dan peran media massa pada masa perjuangan kemerdekaan Indonesia, sesungguhnya dapat ditelusuri sejak dasawarsa pertama awal abad ke-20, yakni saat terjadi kebangkitan nasionalisme dan patriotisme sebagai reaksi terhadap kolonialisme dan imperialisme.
Kalimantan Selatan (termasuk Kalimantan Tengah sekarang) merupakan bagian dari konstelasi pergerakan kebangsaan Indonesia itu. Pada periode yang dikenal sebagai periode pergerakan kebangsaan, media massa berperan menginformasikan pergerakan kebangsaan di Jawa dan Sumatera, memberitakan dan mengkritik ketidakadilan yang dilakukan Pemerintah Hindia Belanda, dan menyuarakan perlunya kesadaran untuk mengangkat harkat dan martabat rakyat yang terjajah.
Penyemaian semangat nasionalisme dan patriotisme untuk meraih kemerdekaan yang dilakukan melalui jalur media massa di samping jalur pendidikan dan organisasi pergerakan terus mengkristal pada periode-periode berikutnya dan kemudian menjadi modal utama dalam merebut dan mempertahankan proklamasi kemerdekaan 17 Agustustus 1945.
Tulisan ini dimaksudkan untuk memaparkan tentang peran media massa pada masa perjuangan kemerdekaan Indonesia di Kalimantan Selatan, yakni pada periode Pergerakan Kebangsaan (Perintis Kemerdekaan), periode Pendudukan Jepang, dan periode Perang Kemerdekaan (Revolusi Fisik 1945-1949), sampai dengan Pengakuan Kedaulatan di tahun 1950.
PENGARUH PERS POLITIK KEBANGSAAN
Di Indonesia peran media massa terutama pers berbahasa Melayu/Indonesia sangat penting dalam pergerakan kebangsaan, karena dapat bersentuhan langsung dengan penduduk bumiputera. Oleh karena itu, pers berbahasa Melayu seringkali dijadikan alat komunikasi politik oleh para elite Indonesia baru. Banyaknya kasus persdelict (tulisan yang dianggap menentang atau menghasut terhadap pemerintah, hingga dapat dituntut hukuman di pengadilan) di masa Hindia Belanda, larangan terbit bagi surat kabar dan majalah antara lain karena disadari bahayanya pengaruh tulisan dalam bahasa Melayu dalam pers itu segera dapat dipahami oleh penduduk bumiputera.
Begitupula halnya yang terjadi di Kalimantan Selatan, pertumbuhan organisasi pergerakan kebangsaan juga dipengaruhi oleh perkembangan media massa. Keberadaan surat kabar dan majalah telah mendorong perkembangan kebudayaan dan kemajuan peradaban, karena melalui media massa itulah masyarakat mendapatkan informasi dan ide-ide tentang kemerdekaan, liberalisme, parlementarisme dan sebagainya yang merupakan bagian dari pergerakan nasional di daerah ini.
Pemerintah Hindia Belanda sangat membatasi kekebasan mengeluarkan pikiran secara lisan maupun tulisan serta penyebaran surat kabar dan majalah yang dicetak dan diedarkan oleh bumiputera, namun perkembangan selanjutnya pembatasan itu tidaklah memperlemah aktivitas para tokoh pers dan organisasi pergerakan di Kalimantan Selatan.
Para pemuda dapat memperoleh berbagai informasi melalui Taman Bacaan (Het Leesgezelschap) seperti yang dimiliki oleh organisasi Srie di Banjarmasin, maupun organisasi Persatuan Pemuda Marabahan (PPM) tahun 1929. Diadakannya taman bacaan berkaitan erat dengan keinginan tokoh masyarakat setempat agar kegiatan dapat mengurangi jumlah penduduk yang buta huruf.
Pada masa itu, para aktivis organisasi pergerakan telah berlangganan atau membaca berbagai surat kabar dari Jawa yang beredar di Kalimantan Selatan seperti Harian Oemoem, Tempo, PNI Soeloeh Indonesia, Bintang Timoer, Soeara Persatoean Goeroe Indonesia, Hindia Baroe, Bintang Baroe, Bintang Islam, Kemadjoean Hindia, Terang Boelan, Soeara Parindra, majalah bulanan Taman Siswa, dan lain-lain.
Selain itu tokoh pers maupun tokoh pergerakan di Kalimantan Selatan menerbitkan pula surat kabar, harian, mingguan, bulanan baik yang berhaluan nasional, Islam, nasional sekaligus Islam, ataupun netral. Diantaranya ada yang berdiri sendiri, organ dari partai politik, atau berdiri sendiri namun redaksinya diisi oleh anggota organisasi pergerakan, seperti majalah Malam Djoema’at, surat kabar Soeara Rakyat Kalimantan (SORAK), Soeara Kalimantan, Tjanang, Oetoesan Kalimantan, Pembangoenan Semangat, Berita N.Oe, Soeara Pakat Dajak, Soeara M.Th, Soeara B.I.C, Bingkisan, Kesadaran Kalimantan, Pelita Masjarakat, dan Panggilan Waktoe, dan lain-lain.
Pada umumnya isi surat kabar dan majalah yang terbit di Kalimantan Selatan tidak berbeda jauh dengan pemberitaan yang terdapat dalam surat kabar atau majalah di Jawa, yakni menginformasikan perkembangan politik kebangsaan, menyuarakan pentingnya persatuan, memberitakan dan mengkritik ketidakadilan yang dilakukan Pemerintah Hindia Belanda, dan sebagainya yang merupakan bagian dari pergerakan nasional di daerah ini.
Amir Hasan Bondan dalam tulisannya di surat kabar Indonesia Merdeka edisi Nomor 99 Tahun ke VII, Sabtu 28 April 1951, berjudul “Pers di Kalimantan” menceritakan sekilas perkembangan pergerakan tahun 1920-an dengan mengangkat kembali tulisannya yang pernah terbit dalam majalah Malam Djoema’at terbitan tanggal 24 November 1927 dengan judul “Perasaan Bandjar Totok”. Amir Hassan Bondan membandingkan pemberitaan Malam Djoema’at dengan koran yang ia baca di Jawa, dan ternyata menurutnya terdapat persamaan antara isi surat kabar di Jawa dengan Borneo.
Menurutnya koran-koran di Borneo tidak kalah dengan koran-koran di Jawa karena sama-sama hangat bunyi beritanya. Dalam tulisannya Amir Hasan juga menggelorakan semangat untuk maju seperti di Jawa dengan menganjurkan perlunya anak-anak Banjar bersekolah dan bergotong royong mengadakan sekolah bagi kaum perempuan (Wajidi, 2007a: 83-84).
Di Indonesia peran media massa terutama pers berbahasa Melayu/Indonesia sangat penting dalam pergerakan kebangsaan, karena dapat bersentuhan langsung dengan penduduk bumiputera. Oleh karena itu, pers berbahasa Melayu seringkali dijadikan alat komunikasi politik oleh para elite Indonesia baru. Banyaknya kasus persdelict (tulisan yang dianggap menentang atau menghasut terhadap pemerintah, hingga dapat dituntut hukuman di pengadilan) di masa Hindia Belanda, larangan terbit bagi surat kabar dan majalah antara lain karena disadari bahayanya pengaruh tulisan dalam bahasa Melayu dalam pers itu segera dapat dipahami oleh penduduk bumiputera.
Begitupula halnya yang terjadi di Kalimantan Selatan, pertumbuhan organisasi pergerakan kebangsaan juga dipengaruhi oleh perkembangan media massa. Keberadaan surat kabar dan majalah telah mendorong perkembangan kebudayaan dan kemajuan peradaban, karena melalui media massa itulah masyarakat mendapatkan informasi dan ide-ide tentang kemerdekaan, liberalisme, parlementarisme dan sebagainya yang merupakan bagian dari pergerakan nasional di daerah ini.
Pemerintah Hindia Belanda sangat membatasi kekebasan mengeluarkan pikiran secara lisan maupun tulisan serta penyebaran surat kabar dan majalah yang dicetak dan diedarkan oleh bumiputera, namun perkembangan selanjutnya pembatasan itu tidaklah memperlemah aktivitas para tokoh pers dan organisasi pergerakan di Kalimantan Selatan.
Para pemuda dapat memperoleh berbagai informasi melalui Taman Bacaan (Het Leesgezelschap) seperti yang dimiliki oleh organisasi Srie di Banjarmasin, maupun organisasi Persatuan Pemuda Marabahan (PPM) tahun 1929. Diadakannya taman bacaan berkaitan erat dengan keinginan tokoh masyarakat setempat agar kegiatan dapat mengurangi jumlah penduduk yang buta huruf.
Pada masa itu, para aktivis organisasi pergerakan telah berlangganan atau membaca berbagai surat kabar dari Jawa yang beredar di Kalimantan Selatan seperti Harian Oemoem, Tempo, PNI Soeloeh Indonesia, Bintang Timoer, Soeara Persatoean Goeroe Indonesia, Hindia Baroe, Bintang Baroe, Bintang Islam, Kemadjoean Hindia, Terang Boelan, Soeara Parindra, majalah bulanan Taman Siswa, dan lain-lain.
Selain itu tokoh pers maupun tokoh pergerakan di Kalimantan Selatan menerbitkan pula surat kabar, harian, mingguan, bulanan baik yang berhaluan nasional, Islam, nasional sekaligus Islam, ataupun netral. Diantaranya ada yang berdiri sendiri, organ dari partai politik, atau berdiri sendiri namun redaksinya diisi oleh anggota organisasi pergerakan, seperti majalah Malam Djoema’at, surat kabar Soeara Rakyat Kalimantan (SORAK), Soeara Kalimantan, Tjanang, Oetoesan Kalimantan, Pembangoenan Semangat, Berita N.Oe, Soeara Pakat Dajak, Soeara M.Th, Soeara B.I.C, Bingkisan, Kesadaran Kalimantan, Pelita Masjarakat, dan Panggilan Waktoe, dan lain-lain.
Pada umumnya isi surat kabar dan majalah yang terbit di Kalimantan Selatan tidak berbeda jauh dengan pemberitaan yang terdapat dalam surat kabar atau majalah di Jawa, yakni menginformasikan perkembangan politik kebangsaan, menyuarakan pentingnya persatuan, memberitakan dan mengkritik ketidakadilan yang dilakukan Pemerintah Hindia Belanda, dan sebagainya yang merupakan bagian dari pergerakan nasional di daerah ini.
Amir Hasan Bondan dalam tulisannya di surat kabar Indonesia Merdeka edisi Nomor 99 Tahun ke VII, Sabtu 28 April 1951, berjudul “Pers di Kalimantan” menceritakan sekilas perkembangan pergerakan tahun 1920-an dengan mengangkat kembali tulisannya yang pernah terbit dalam majalah Malam Djoema’at terbitan tanggal 24 November 1927 dengan judul “Perasaan Bandjar Totok”. Amir Hassan Bondan membandingkan pemberitaan Malam Djoema’at dengan koran yang ia baca di Jawa, dan ternyata menurutnya terdapat persamaan antara isi surat kabar di Jawa dengan Borneo.
Menurutnya koran-koran di Borneo tidak kalah dengan koran-koran di Jawa karena sama-sama hangat bunyi beritanya. Dalam tulisannya Amir Hasan juga menggelorakan semangat untuk maju seperti di Jawa dengan menganjurkan perlunya anak-anak Banjar bersekolah dan bergotong royong mengadakan sekolah bagi kaum perempuan (Wajidi, 2007a: 83-84).
Pasal Karet dan Persdelict
Pemerintah Hindia Belanda memiliki KUHP (Wetboek van Straafrecht). KUHP itu memiliki beberapa ”pasal karet” karena mempunyai konotasi arti dari perkataan-perkataan yang dipergunakan tidak mengandung makna pasti tetapi bersifat elastis sehingga dapat diterapkan sesuai dengan makna yang dikehendaki oleh penguasa guna mengatasi pelbagai kasus yang merugikan atau mengancam sistem kolonial. Pasal-pasal dimaksud diantaranya: Pasal 153 bis; Pasal 153 ter; Pasal 161 bis; dan Pasal 171 bis. Pasal Pasal 153 bis berbunyi: “Barang siapa dengan perkataan, tulisan atau gambar melahirkan pikirannya yang biarpun secara menyindir atau samar-samar, memuat anjuran untuk mengganggu keamanan umum atau menentang kekuasaan Pemerintah Nederland atau Pemerintah Hindia Belanda dapat dihukum penjara maksimum 6 tahun atau denda maksimum Rp 300,00”.
Perkataan-perkataan yang bersifat karet, yaitu ‘menyindir’, ‘samar-samar’ dan ‘mengganggu keamanan umum’. Pasal 153 bis sifat karetnya sama dengan isi pasal 153 ter yang berbunyi: “Barangsiapa menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan tulisan atau gambar yang memuat pikiran seperti dimaksud dalam pasal 153 bis dapat dihukum penjara maksimum 5 tahun atau denda maksimum Rp 300,00”. Pasal 153 ter, seringkali khusus ditujukan pada para penanggungjawab media massa (termasuk redaktur) yang tidak menyebutkan nama penulis atau samaran (Wajidi, 2007a: 195).
Selain KUHP, pemerintah Hindia Belanda juga larangan bagi pegawai pemerintah untuk mengeluarkan pikiran secara lisan maupun tulisan yang dapat merongrong kekuasaan pemerintah sebagaimana tertuang dalam Muilkorf-Circulaire (Sirkuler-Pemberangusan) yakni Surat Edaran Gubernur Jenderal Hindia Belanda bertanggal 27 September 1919 (Wajidi, 2007a: 88).
Bagi pemerintah Hindia Belanda, beberapa pasal karet itu merupakan sarana efektif untuk membatasi ruang gerak para aktivis pergerakan dalam berbicara dan menulis di media massa. Beberapa di antara mereka terpaksa meringkuk di dalam penjara karena ucapannya (delik bicara), atau tulisannya yang dianggap menentang atau menghasut terhadap pemerintah sehingga terkena persdelict, atau bagi penerbitnya terkena persbreidel.
Kalau surat kabar dan majalah yang terbit dan kebetulan pimpinan redaksinya adalah seorang anggota organisasi politik, misalnya PBI, Parindra, NU, Musyawaratutthalibin, maka sudah tentu isi surat kabar itu menyebarkan semangat kebangsaan dan menjadi sorotan pemerintah Hindia Belanda.
Pada saat itu, para wartawan dan pemimpin redaksi memang umumnya adalah juga anggota organisasi partai politik, misalnya A.A. Kesuma Wira Negara pimpinan Soeara Rakyat Kalimantan (SORAK) adalah juga ketua umum Partai Ekonomi Kalimantan, A.A. Hamidhan pemimpin redaksi Soeara Kalimantan adalah juga sekretaris GAPI, Merah Johansyah komisaris Parindra Kalimantan Selatan dan Timur adalah seorang wartawan ketika wafat digantikan Hadhariyah M yang juga wartawan, Achmad Zakaria ketua umum B.I.C (Bond Indonesische Chauffeur) adalah juga wartawan Soeara B.I.C, H. Ahmad Barmawi Taib, ketua cabang Parindra Kandangan sekaligus pemimpin redaksi Pembangunan Semangat, dan banyak lagi wartawan lainnya.
Oleh karena itu, untuk menghindarkan diri dari persdelict maka seorang penulis dari anggota partai atau simpatisan partai yang aktif apalagi ia seorang pegawai negeri (ambtenaar) maka ia menulis artikel dengan memakai nama samaran, sehingga ketika terjadi persdelict maka yang bertanggung jawab adalah pemimpin redaksi (Hoofdredacteur).
Diantara aktivis pergerakan sekaligus wartawan yang terkena persdelict adalah H. Ahmad Barmawi Taib, karena sering menulis artikel yang bersifat politik melalui Pembangunan Semangat. Majalah Pembangunan Semangat nomor 8,9,10,11,12 tahun 1939 disita polisi PID (Politieke Inlichtingen Dienst) Hindia Belanda dan ia dijatuhi hukuman penjara 3 tahun oleh Landraad Kandangan. Upaya Mr. Rusbandi selaku Komisaris Daerah Parindra Kalimantan Selatan yang sekaligus sebagai pembela tidak berhasil meyakinkan hakim kolonial, sehingga H. Ahmad Barmawi dikirim ke penjara Sukamiskin di Jawa Barat.
Kasus persdelict juga pernah dialami oleh Hadhariyah M, seorang tokoh pejuang kemerdekaan di bidang politik sekaligus pemimpin redaksi mingguan Bendahara Borneo Samarindra, dan pemimpin redaksi Harian Utusan Kalimantan Banjarmasin. Karena tulisan-tulisan politiknya yang tajam, maka ia dinilai oleh Pemerintah Hindia Belanda di Banjarmasin sebagai seorang “Hollander Hater” (Pembenci Belanda). Ia pernah menjadi korban delik bicara dalam suatu rapat umum Parindra di Barabai dengan tuntutan melanggar pasal 151 bis dari Wetboek van Strafrecht Pemerintah Hindia Belanda dan diganjar hukuman penjara selama 3 bulan dan membayar denda f. 100.
Tanggal 17 Juni 1941 ia kembali ditangkap dan didakwa melanggar pasal-pasal 156, 157, dan 193 bis/ter Wetboek van Straafrecht (KUHP), karena telah menulis sebuah roman politik yang berjudul ”Suasana Kalimantan” dan diterbitkan di Medan dengan judul “Tersungkur Di Bawah Kaki Ibu”. Pada tanggal 1 Februari 1942 Hadhariyah M menjalani kehidupan 4 tahun penjara, setelah upaya naik bandingnya ditolak oleh Raad van Justitie di Surabaya (Wajidi, 2007a:195).
Satu-satunya pers nasional yang usianya cukup lama adalah Harian Soeara Kalimantan (1930-1942) pimpinan/dimiliki oleh A.A. Hamidhan (kelak menjadi satu-satunya utusan Kalimantan dalam keanggotaan PPKI) yang menyaingi Dagblad Borneo Post pimpinan Mr. J. Smith sebagai tameng pemerintah Hindia Belanda untuk wilayah Kalimantan. Soeara Kalimantan mempunyai rubrik hari sabtu bernama ”Soeara Ibu Kalimantan” yang diasuh oleh Siti Aiyah (Ny. A.A. Hamidhan). Harian Soeara Kalimantan terkenal sebagai surat kabar yang mempunyai kritik tajam.
Karena selalu menentang pemerintah Hindia Belanda, maka menjelang datangnya tentara Jepang ke Banjarmasin pada tahun 1942, percetakan Harian Soeara Kalimantan milik A.A. Hamidhan menjadi salah satu sasaran pembumihangusan AVC (Algemene Vernielings Corps) Belanda bersamaan dengan praktek pembumihangusan objek vital lainnya di Banjarmasin. Tindakan Belanda itu dimaksudkan agar pihak Jepang tidak dapat masuk atau mempergunakannya lagi.
Berdasarkan riwayat hidup yang disusun oleh A.A. Hamidhan, maka selama hidupnya A.A. Hamidhan pernah mengalami tiga kali masuk penjara karena persdelict, yakni penjara Cipinang (dahulu Meester Cornelis) di Jatinegara selama 2 bulan karena persdelict waktu bekerja di surat kabar Bendahara Borneo di Samarinda (1930), penjara Banjarmasin selama 6 minggu karena persdelict Soeara Kalimantan (1932), kemudian di tahun 1936 masuk lagi selama 6 bulan di penjara Banjarmasin (Artha, 1981:133).
Pemerintah Hindia Belanda memiliki KUHP (Wetboek van Straafrecht). KUHP itu memiliki beberapa ”pasal karet” karena mempunyai konotasi arti dari perkataan-perkataan yang dipergunakan tidak mengandung makna pasti tetapi bersifat elastis sehingga dapat diterapkan sesuai dengan makna yang dikehendaki oleh penguasa guna mengatasi pelbagai kasus yang merugikan atau mengancam sistem kolonial. Pasal-pasal dimaksud diantaranya: Pasal 153 bis; Pasal 153 ter; Pasal 161 bis; dan Pasal 171 bis. Pasal Pasal 153 bis berbunyi: “Barang siapa dengan perkataan, tulisan atau gambar melahirkan pikirannya yang biarpun secara menyindir atau samar-samar, memuat anjuran untuk mengganggu keamanan umum atau menentang kekuasaan Pemerintah Nederland atau Pemerintah Hindia Belanda dapat dihukum penjara maksimum 6 tahun atau denda maksimum Rp 300,00”.
Perkataan-perkataan yang bersifat karet, yaitu ‘menyindir’, ‘samar-samar’ dan ‘mengganggu keamanan umum’. Pasal 153 bis sifat karetnya sama dengan isi pasal 153 ter yang berbunyi: “Barangsiapa menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan tulisan atau gambar yang memuat pikiran seperti dimaksud dalam pasal 153 bis dapat dihukum penjara maksimum 5 tahun atau denda maksimum Rp 300,00”. Pasal 153 ter, seringkali khusus ditujukan pada para penanggungjawab media massa (termasuk redaktur) yang tidak menyebutkan nama penulis atau samaran (Wajidi, 2007a: 195).
Selain KUHP, pemerintah Hindia Belanda juga larangan bagi pegawai pemerintah untuk mengeluarkan pikiran secara lisan maupun tulisan yang dapat merongrong kekuasaan pemerintah sebagaimana tertuang dalam Muilkorf-Circulaire (Sirkuler-Pemberangusan) yakni Surat Edaran Gubernur Jenderal Hindia Belanda bertanggal 27 September 1919 (Wajidi, 2007a: 88).
Bagi pemerintah Hindia Belanda, beberapa pasal karet itu merupakan sarana efektif untuk membatasi ruang gerak para aktivis pergerakan dalam berbicara dan menulis di media massa. Beberapa di antara mereka terpaksa meringkuk di dalam penjara karena ucapannya (delik bicara), atau tulisannya yang dianggap menentang atau menghasut terhadap pemerintah sehingga terkena persdelict, atau bagi penerbitnya terkena persbreidel.
Kalau surat kabar dan majalah yang terbit dan kebetulan pimpinan redaksinya adalah seorang anggota organisasi politik, misalnya PBI, Parindra, NU, Musyawaratutthalibin, maka sudah tentu isi surat kabar itu menyebarkan semangat kebangsaan dan menjadi sorotan pemerintah Hindia Belanda.
Pada saat itu, para wartawan dan pemimpin redaksi memang umumnya adalah juga anggota organisasi partai politik, misalnya A.A. Kesuma Wira Negara pimpinan Soeara Rakyat Kalimantan (SORAK) adalah juga ketua umum Partai Ekonomi Kalimantan, A.A. Hamidhan pemimpin redaksi Soeara Kalimantan adalah juga sekretaris GAPI, Merah Johansyah komisaris Parindra Kalimantan Selatan dan Timur adalah seorang wartawan ketika wafat digantikan Hadhariyah M yang juga wartawan, Achmad Zakaria ketua umum B.I.C (Bond Indonesische Chauffeur) adalah juga wartawan Soeara B.I.C, H. Ahmad Barmawi Taib, ketua cabang Parindra Kandangan sekaligus pemimpin redaksi Pembangunan Semangat, dan banyak lagi wartawan lainnya.
Oleh karena itu, untuk menghindarkan diri dari persdelict maka seorang penulis dari anggota partai atau simpatisan partai yang aktif apalagi ia seorang pegawai negeri (ambtenaar) maka ia menulis artikel dengan memakai nama samaran, sehingga ketika terjadi persdelict maka yang bertanggung jawab adalah pemimpin redaksi (Hoofdredacteur).
Diantara aktivis pergerakan sekaligus wartawan yang terkena persdelict adalah H. Ahmad Barmawi Taib, karena sering menulis artikel yang bersifat politik melalui Pembangunan Semangat. Majalah Pembangunan Semangat nomor 8,9,10,11,12 tahun 1939 disita polisi PID (Politieke Inlichtingen Dienst) Hindia Belanda dan ia dijatuhi hukuman penjara 3 tahun oleh Landraad Kandangan. Upaya Mr. Rusbandi selaku Komisaris Daerah Parindra Kalimantan Selatan yang sekaligus sebagai pembela tidak berhasil meyakinkan hakim kolonial, sehingga H. Ahmad Barmawi dikirim ke penjara Sukamiskin di Jawa Barat.
Kasus persdelict juga pernah dialami oleh Hadhariyah M, seorang tokoh pejuang kemerdekaan di bidang politik sekaligus pemimpin redaksi mingguan Bendahara Borneo Samarindra, dan pemimpin redaksi Harian Utusan Kalimantan Banjarmasin. Karena tulisan-tulisan politiknya yang tajam, maka ia dinilai oleh Pemerintah Hindia Belanda di Banjarmasin sebagai seorang “Hollander Hater” (Pembenci Belanda). Ia pernah menjadi korban delik bicara dalam suatu rapat umum Parindra di Barabai dengan tuntutan melanggar pasal 151 bis dari Wetboek van Strafrecht Pemerintah Hindia Belanda dan diganjar hukuman penjara selama 3 bulan dan membayar denda f. 100.
Tanggal 17 Juni 1941 ia kembali ditangkap dan didakwa melanggar pasal-pasal 156, 157, dan 193 bis/ter Wetboek van Straafrecht (KUHP), karena telah menulis sebuah roman politik yang berjudul ”Suasana Kalimantan” dan diterbitkan di Medan dengan judul “Tersungkur Di Bawah Kaki Ibu”. Pada tanggal 1 Februari 1942 Hadhariyah M menjalani kehidupan 4 tahun penjara, setelah upaya naik bandingnya ditolak oleh Raad van Justitie di Surabaya (Wajidi, 2007a:195).
Satu-satunya pers nasional yang usianya cukup lama adalah Harian Soeara Kalimantan (1930-1942) pimpinan/dimiliki oleh A.A. Hamidhan (kelak menjadi satu-satunya utusan Kalimantan dalam keanggotaan PPKI) yang menyaingi Dagblad Borneo Post pimpinan Mr. J. Smith sebagai tameng pemerintah Hindia Belanda untuk wilayah Kalimantan. Soeara Kalimantan mempunyai rubrik hari sabtu bernama ”Soeara Ibu Kalimantan” yang diasuh oleh Siti Aiyah (Ny. A.A. Hamidhan). Harian Soeara Kalimantan terkenal sebagai surat kabar yang mempunyai kritik tajam.
Karena selalu menentang pemerintah Hindia Belanda, maka menjelang datangnya tentara Jepang ke Banjarmasin pada tahun 1942, percetakan Harian Soeara Kalimantan milik A.A. Hamidhan menjadi salah satu sasaran pembumihangusan AVC (Algemene Vernielings Corps) Belanda bersamaan dengan praktek pembumihangusan objek vital lainnya di Banjarmasin. Tindakan Belanda itu dimaksudkan agar pihak Jepang tidak dapat masuk atau mempergunakannya lagi.
Berdasarkan riwayat hidup yang disusun oleh A.A. Hamidhan, maka selama hidupnya A.A. Hamidhan pernah mengalami tiga kali masuk penjara karena persdelict, yakni penjara Cipinang (dahulu Meester Cornelis) di Jatinegara selama 2 bulan karena persdelict waktu bekerja di surat kabar Bendahara Borneo di Samarinda (1930), penjara Banjarmasin selama 6 minggu karena persdelict Soeara Kalimantan (1932), kemudian di tahun 1936 masuk lagi selama 6 bulan di penjara Banjarmasin (Artha, 1981:133).
KEHIDUPAN PERS DI MASA PENDUDUKAN JEPANG
Berkuasanya tentara pendudukan Jepang bukan saja menjadi akhir dari kekuasaan pemerintahan Hindia Belanda di Kalimantan Selatan, tetapi juga dimaknai sebagai “awan gelap” bagi pergerakan kebangsaan, termasuk kehidupan pers yang dibatasi, dibentuk, dan dijadikan corong pemerintah pendudukan Jepang.
Dengan maksud supaya rakyat segera dapat mengetahui tentang maksud kedatangan tentara Jepang, yaitu untuk melepaskan belenggu penjajahan Belanda terhadap Indonesia, maka Jepang menugaskan A.A. Hamidhan untuk menerbitkan surat kabar. Surat kabar itu bernama Kalimantan Raya, terbit pertama kali Maret 1942. Karena harian ini adalah kepunyaan dan segala sesuatunya dibawah kekuasaan pemerintah pendudukan Jepang, maka isinya dan tujuannya sudah tentu sangat bertentangan dengan surat kabar sebelumnya yakni Harian Soeara Kalimantan yang tidak mau bekerjasama dengan pemerintah Hindia Belanda.
Pengalaman pahit pernah dirasakan oleh A.A. Hamidhan, yakni dipanggil Komandan Tentara Jepang di Banjarmasin secara mendadak, terkait dengan pemberitaan yang dimuat dalam Harian Kalimantan Raya yaitu mengenai sebuah berita dari Kotabaru mengenai gerakan atau perpindahan militer Jepang dalam harian tersebut. Berita tersebut diberi tanda dengan pensil merah yang tebal, disodorkan kepada A.A. Hamidhan, dengan kata-kata keras dalam bahasa Jepang yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, yang maksudnya “kenapa dimuat berita gerakan atau perpindahan militer Jepang dalam koran! Ini tidak betul! Bisa dihukum potong leher!” (Artha, 1981:126).
Sudah tentu ini mengejutkan A.A. Hamidhan sebagai penanggung jawab penuh atas segala isi Kalimantan Raya. Berita yang menjadi persoalan ini adalah berita perpisahan penduduk dengan sekelompok tentara Jepang yang terpaksa meninggalkan Kotabaru dan akan ditempatkan ke lain daerah yang tidak disebutkan. Bagi A.A. Hamidhan berita ini wajar, tetapi bagi Jepang ini merupakan strategi perang. Pengalaman yang demikian pahit dan menggetirkan untuk pertama kalinya mendapat mendapat pengampunan, tetapi bila di kemudian hari ada berita yang menjurus strategi militer dimuat, tidak ada ampun lagi, demikian kata komandan Jepang (Artha, 1981: 126; Nawawi, 1991:32).
Jika A.A. Hamidhan bernasib baik karena diampuni Jepang, nasib buruk justru menimpa Andin Boer’ie (pemimpin redaksi Borneo Simboen di Balikpapan), karena menyiarkan kedudukan Jepang dan sistem pemerintahan dan juga didakwa turut dalam komplotan anti pemerintah Jepang, dia ditangkap dan dibunuh oleh kempeitai Jepang di suatu tempat di Balikpapan (Artha, 1981: 29). Nasib naas juga menimpa wartawan Housman Babu (pernah menjabat presiden Pakat Dayak dengan suratkabar Soeara Pakat Dayak) yang ditangkap dan disiksa tentara Jepang sampai meninggal dunia dan tidak diketahui dimana kuburnya.
Pada akhir April atau awal Mei 1942 dari Tokyo Harian Asahi Simboen mengirim rombongan karyawan. Dalam suatu pertemuan antara pemerintahan sipil Jepang, pihak Asahi Simboen dan Kalimantan Raya, diambil suatu keputusan untuk melebur Harian Kalimantan Raya menjadi Borneo Simboen. Penerbitan Borneo Simboen berbahasa Indonesia dipisahkan dari Borneo Simboen berbahasa Jepang.
Sebagai surat kabar corong pemerintah, maka sensor dari pihak pemerintah pendudukan Jepang yang dilakukan oleh bagian Seimuka dari kantor Minseifu di Banjarmasin diperketat sedemikian rupa, sehingga kalau semua karangan atau pemberitaan belum mendapat izin, koran tidak boleh dicetak dan diedarkan (Nawawi, 1991:34; Ideham, 2003:330).
Pada saat serangan Sekutu terhadap Jepang semakin menghebat dan pertahanan Jepang sudah mulai runtuh, maka pihak penerbitan surat kabar diperintahkan untuk mempersiapkan penerbitan darurat jika terpaksa. Karena itu sebagian percetakan dengan beberapa staf redaksi dipindahkan ke Kandangan dan kemudian diterbitkanlah Borneo Simboen edisi Hulu Sungai dipimpin oleh A. Basuni. Sebagian besar berita Borneo Simboen dikirim dari Banjarmasin atau pusat. Setelah pasukan sekutu datang di Banjarmasin untuk melucuti tentara Jepang, maka penerbitan Borneo Simboen dihentikan.
PERAN PERS REPUBLIKEN SELAMA PERANG KEMERDEKAAN
Kalimantan Selatan pada hari-hari setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945 mencerminkan situasi dan kondisi yang tidak menentu karena simpang siurnya berita yang sampai ke daerah ini, di samping tentara Jepang juga masih menunjukkan kekuasaannya.
Berita proklamasi itu akhirnya sampai juga di Kalimantan Selatan, disiarkan pertama kali oleh surat kabar Borneo Simboen edisi Kandangan pimpinan A. Basuni yang informasinya diperoleh dari kantor berita Jepang “Domei” Banjarmasin yang menerima berita dari kantor “Domei” Jakarta. Baru kemudian Borneo Simboen edisi Banjarmasin pimpinan A.A. Hamidhan terbitan Nomor 851 Minggu 26 Hatji-Gatsoe 2605 (26 Agustus 1945) menyiarkan atau memberitahukan tentang pengangkatan Kepala Negara Indonesia Merdeka dan Bentuk Indonesia Merdeka (Wajidi, 2008: 1).
Keinginan A.A. Hamidhan, selaku pemimpin redaksi surat kabar Borneo Simboen dan utusan Kalimantan dalam keanggotaan PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) untuk segera menyiarkan berita proklamasi sesaat setelah ia tiba di Banjarmasin tidak terlaksana karena dihalangi oleh militer Jepang. Seminggu kemudian (26 Agustus 1945) ia baru dapat menyiarkannya, disusul Borneo Simboen terbitan tanggal 30 Agustus 1945 yang memuat tentang UUD Republik Indonesia. Menurut A.A. Hamidhan, meski tidak memuat naskah proklamasi, pemberitaan Borneo Simboen itu sudah dari cukup untuk dimengerti masyarakat bahwa Indonesia betul-betul telah memproklamasi kemerdekaannya.
Setelah penerbitan Borneo Simboen edisi Banjarmasin dihentikan pada bulan September 1945, maka sarana percetakannya ternyata lebih dahulu dimanfaatkan oleh Pemerintah Belanda (NICA) untuk melahirkan Soeara Kalimantan yang pro penjajah. Berbeda halnya dengan sarana percetakan Borneo Simboen yang ada di Kandangan, oleh para tokoh pers setempat dapat dimanfaatkan untuk melahirkan koran tengah mingguan yang diberi nama “Sinar Hoeloe Soengai”. Akan tetapi, perjalanan Sinar Hoeloe Soengai sebagai embrio pers perjuangan di daerah ini tidaklah berlangsung dengan mulus, karena percetakan mereka juga diambil alih oleh NICA. Oleh karena itu, pada awal penerbitannya Sinar Hoeloe Soengai berada di bawah kendali NICA, baru kemudian oleh pimpinannya, haluan diubah dari pers yang menyuarakan kepen¬tingan Belanda, menjadi pers yang menyuarakan dan membela bahkan memberikan fasilitas bagi kepentingan pejuang kemerdekaan.
Hubungan pengasuh Sinar Hoeloe Soengai yang akrab dengan tokoh-tokoh pejuang gerilya dan secara diam-diam ikut membantu lahirnya media massa perjuangan lainnya seperti Majalah Republik telah menimbulkan kecurigaan bagi penguasa NICA sehingga setiap penerbitan Sinar Hoeloe Soengai selalu dilakukan sensor yang keras oleh NICA.
Dalam bulan Desember 1948, Merah Danil Bangsawan (pemimpin umum Sinar Hoeloe Soengai) ditangkap oleh penguasa NICA dengan tuduhan telah membantu gerakan perjuangan. Beberapa waktu setelah penahanan Merah Danil Bangsawan, kemudian terjadi peristiwa tragis yang menimpa percetakan surat kabar Sinar Hoeloe Soengai, tindakan pimpinan baru yang menolak permintaan pencetakan surat-surat yang berkaitan dengan kegiatan perjuangan dengan alasan takut ketahuan Belanda, menyebabkan kekecewaan para pejuang di daerah tersebut. Masalah inilah yang menjadi sebab terbakarnya percetakan koran Sinar Hoeloe Soengai beberapa waktu kemudian. Bersamaan dengan hancurnya sarana percetakan tersebut,maka berakhir pula riwayat surat kabar Sinar Hoeloe Soengai yang terbit di daerah ini (Ideham, 2003:419).
Majalah Republik. Se¬suai dengan namanya mempu¬nyai misi sebagai majalah per¬juangan dan mendapat sokongan dari Sinar Hoeloe Soengai. Penerbitan pertama bertepatan dengan hari ulang tahun yang pertama Republik Indonesia 17 Agustus 1946, seolah-olah mengingatkan masyarakat akan Proklamasi Kemerdekaan yang telah berkumandang setahun yang lalu. Oleh karena itu, nomor perdananya itu memuat kembali secara lengkap teks Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 beserta dengan susunan kabinet RI yang pertama.
Tindakan pimpinan redaksi yang menempatkan tanggal penerbitan nomor perdana bertepatan dengan hari proklamasi kemerdekaan, ditambah dengan nama majalah yang dipakai yakni Republik, secara jelas memberikan identitas misi perjuangan yang diemban media massa ini. Bahkan majalah ini selanjutnya secara berani memuat artikel yang menyerang tokoh-tokoh yang memihak Belanda. Misalnya Isah (nama samaran dari Zafry Zamzam, PU dan Pemred Majalah Republik) dalam tulisannya terang-terangan menyerang H. Abdurrahman Siddik (ketua partai Serikat Rakyat Islam-SRI) bentukan NICA, padahal sebelumnya ia adalah seorang republiken yakni ketua pedoman besar Partai Serikat Muslimin Indonesia (SERMI), akan tetapi kemudian memihak Belanda.
Selain wartawan, Zafry Zamzam juga dikenal sebagai tokoh Partai Serikat Kerakyatan Indonesia (SKI), sebuah partai republiken yang menentang ide federalisme dan pembentukan Negara Kalimantan. Setelah berjalan selama lebih dari dua tahun, maka pada suatu hari dalam bulan Desember 1948 Zafry Zamzam ditahan tentara Belanda. Sesudah penangkapan Zafry Zamzam, ternyata tidak ada tenaga penggerak lainnya dalam tubuh Majalah Republik yang berani menanggung risiko, sehingga berakhirlah riwayat Majalah Republik.
Harian Kalimantan Berdjuang (pada beberapa cetakannya ditulis Kalimantan Berdjoang) disingkat Ka-Be adalah media massa yang didirikan orang-orang dalam Sinar Hoeloe Soengai dan Majalah Republik. Didirikan di Kandangan pada 1 Oktober 1946 namun kemudian berpusat di Banjarmasin. Surat kabar ini menyaingi dan mengimbangi berita-berita yang disuarakan pers NICA, yakni Dagblad Borneo Post dan Harian Soeara Kalimantan. Sebelumnya nama Soeara Kalimantan pernah dipakai sebagai nama surat kabar yang terbit pada tahun 1930-1942 yang dipimpin oleh A.A. Hamidhan yang isi pemberitaannya seringkali melawan Pemerintah Hindia Belanda.
Oleh karena itu, ketika lahir Harian Soeara Kalimantan bentukan NICA yang dikelola bekas wartawan Soeara Kalimantan pimpinan A.A. Hamidhan dan bersikap menyuarakan kepentingan penjajah, maka surat kabar ini sempat diprotes oleh A.A. Hamidhan, sehingga kemudian surat kabar ini merubah sikap dari menyuarakan kepentingan NICA menjadi bersikap nasionalis, dan awal 1950 mengganti nama menjadi Indonesia Merdeka.
Sebagai surat kabar yang mendukung perjuangan kemerdekaan, negara Kesatuan dan menentang ide federalisme dan pembentukan negara Kalimantan maka Harian Kalimantan Berdjuang selalu diawasi dengan ketat oleh mata-mata NICA. Surat kabar ini secara nyata telah mendukung perjuangan gerilya yang dipimpin Letkol Hassan Basry dari kesatuan ALRI Divisi IV Pertahanan Kalimantan, misalnya dengan menyiarkan naskah Proklamasi 17 Mei 1949 yang berisi pernyataan kebulatan tekat rakyat Kalimantan Selatan untuk tetap menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, atau memberitakan kemajuan perang gerilya seperti yang diliput wartawannya dan diberitakan dalam Kalimantan Berdjuang, Kamis 22 September 1949 No. 806 Tahun ke V, hlm.2 berjudul “Surat2 dari Hulu-Sungai: Menindjau daerah gerilja dari dekat” (Wajidi, 2007b: 112).
Pada bulan Desember 1948 bersamaan dengan Agresi II Militer Belanda, pemerintah NICA melakukan penangkapan-penangkapan terhadap tokoh-tokoh pejuang kemerdekaan termasuk tokoh Harian Kalimantan Berdjuang seperti Haspan Hadna, Adonis Samat, dan Abdul Jabar.
Mesin stensil besar bersama sheet-sheet stensil terbitan sebelumnya turut pula disita NICA, dan hanya bisa diambil dengan syarat bahan-bahan berita yang akan dimuat harus terlebih dahulu melalui sensor oleh Regeerings Voorlichting Dienst (RDV) NICA. Meski dengan berat hati, persyaratan itu diterima. Tetapi di balik itu, tetap mengambil taktik “mengakali” sensor tersebut agar berita-beritanya tetap menguntungkan perjuangan kemerdekaan (Wajidi, 2008:48).
Media cetak lainnya yang tak kalah beraninya adalah Harian Terompet Rakyat. Tokoh harian ini yakni Yusni Antemas (nama pena, Anggraini Antemas) tidak hanya bersenjatakan pena tapi juga ikut dalam orga¬nisasi perlawanan bersenjata yakni Gerpindom (Gerakan Rakyat Pengejar/Pembela Indonesia Merdeka) Amuntai. Melalui kolom pojok dan edito¬rialnyaharian ini seringkali me¬lontarkan protes, sindiran atau kritikan terhadap kebobrokan politik kolonial Belanda.
Keberanian Harian Terompet Rakyat mengkritik kebobrokan politik penjajahan menyebabkan harian ini senantiasa mendapat sorotan dari penguasa setempat. Hamran Ambrie (Pemred) dan Yusni Antemas (Wakil Pemred) dipanggil dan diminta untuk menghentikan kegiatannya sebagai wartawan Republiken dengan menawarkan bantuan berupa dana dan sarana apabila bersedia menghentikan penerbitan Harian Terompet Rakyat atau bekerjasama dengan surat kabar Belanda, namun tawaran itu ditolak mereka.
Dampak lanjut dari gagalnya bujukan yang dilakukan pihak punguasa NICA kepada tokoh-tokoh Terompet Rakyat di Amuntai tersebut adalah terjadinya peristiwa pemukulan yang dilakukan oleh militer NICA terhadap Yusni Antemas pada tanggal 6 Mei 1947.
Janji pihak yang berwajib untuk mengusut peristiwa Yusni Antemas ini tidak pernah berlanjut, bahkan tekanan-tekanan penguasa NICA terhadap Terompet Rakyat semakin kuat. Yusni Antemas beberapa kali ditangkap karena persdelict dari tulisan-tulisannya itu, ditahan di penjara Tanjung selama satu tahun sampai dibebaskan di tahun 1949.
Sesudah tokoh-tokohnya ditahan pemerintah NICA, maka kondisi harian Terompet Rakyat semakin memburuk karena kekurangan modal sampai akhirnya keluar pemberlakuan larangan terbit terhadap ha¬rian tersebut.
Banyak media cetak lainnya yang berhaluan republiken di masa Perang Kemerdekaan, antara lain Mingguan Kedaulatan, Islam Berjuang, Berita Merdeka, Fadjar Timoer, Mingguan Waspada, Ha¬rian Indonesia Merdeka, Politik Njata, Menara Indonesia, Pedoman Perdjoeangan, dan Majalah Pawana. Namun semuanya bernasib sama yakni berumur pendek karena kesulitan modal, terkena persbreidel, atau tokoh-tokohnya ditangkap dan dipenjarakan penguasa NICA .
PENUTUP
Berdasarkan uraian di atas dapat diambil beberapa kesimpulan. Pertama, perjuangan kemerdekaan Indonesia di Kalimantan Selatan melibatkan hampir seluruh unsur potensi bangsa, tidak hanya perjuangan dengan cara mengangkat senjata, melalui partai politik atau jalur diplomasi di meja perundingan, namun juga melalui jalur media massa. Perananan media massa tidaklah kecil, hal itu dapat dilihat dalam perannya pada masa periode pergerakan kebangsaan, periode pendudukan Jepang, dan periode perang kemerdekaan.
Kedua, pada masa periode pergerakan kebangsaan, media massa khususnya surat kabar dan majalah mempunyai peran penting sebagai media penanaman nasionalisme dan patriotisme kalangan bumi putera. Keberadaannya telah mendorong kemajuan kebudayaan dan peradaban, media penyampaian informasi perkembangan politik kebangsaan, penyebarluasan ide-ide tentang kemerdekaan, liberalisme, dan parlementarisme, menyuarakan pentingnya persatuan, memberitakan ketimpangan antara kehidupan masyarakat di Jawa dengan Kalimantan, dan sebagainya yang merupakan bagian dari pergerakan nasional di daerah ini.
Ketiga, pada masa periode pendudukan Jepang yang dikenal sebagai awan gelap bagi pergerakan kemerdekaan, kehidupan pers yang dibatasi, dibentuk, dan dijadikan corong tentara pendudukan Jepang tetap berusaha dengan berbagai siasat untuk tetap berpihak kepada perjuangan kemerdekaan dalam setiap pemberitaannya meski mendapat sensor dan ancaman hukuman mati dari tentara pendudukan Jepang. Pada periode ini, masyarakat dapat memperoleh berita-berita dari dunia luar, khususnya perang Pasifik, tanda-tanda kekalahan Jepang, dan berita proklamasi kemerdekaan Indonesia yang disiarkan oleh Borneo Simboen.
Keempat, pada masa periode perang kemerdekaan, media massa bahu membahu dengan pejuang gerilya dan tokoh politik untuk mempertahankan proklamasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945. Pada periode ini, surat kabar dan majalah republikein tidak hanya mendukung perjuangan mempertahan kemerdekaan, namun secara tegas menolak ide federalisme dan rencana pembentukan negara Kalimantan serta mendukung Kalimantan Selatan tetap menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Berdasarkan uraian di atas dapat diambil beberapa kesimpulan. Pertama, perjuangan kemerdekaan Indonesia di Kalimantan Selatan melibatkan hampir seluruh unsur potensi bangsa, tidak hanya perjuangan dengan cara mengangkat senjata, melalui partai politik atau jalur diplomasi di meja perundingan, namun juga melalui jalur media massa. Perananan media massa tidaklah kecil, hal itu dapat dilihat dalam perannya pada masa periode pergerakan kebangsaan, periode pendudukan Jepang, dan periode perang kemerdekaan.
Kedua, pada masa periode pergerakan kebangsaan, media massa khususnya surat kabar dan majalah mempunyai peran penting sebagai media penanaman nasionalisme dan patriotisme kalangan bumi putera. Keberadaannya telah mendorong kemajuan kebudayaan dan peradaban, media penyampaian informasi perkembangan politik kebangsaan, penyebarluasan ide-ide tentang kemerdekaan, liberalisme, dan parlementarisme, menyuarakan pentingnya persatuan, memberitakan ketimpangan antara kehidupan masyarakat di Jawa dengan Kalimantan, dan sebagainya yang merupakan bagian dari pergerakan nasional di daerah ini.
Ketiga, pada masa periode pendudukan Jepang yang dikenal sebagai awan gelap bagi pergerakan kemerdekaan, kehidupan pers yang dibatasi, dibentuk, dan dijadikan corong tentara pendudukan Jepang tetap berusaha dengan berbagai siasat untuk tetap berpihak kepada perjuangan kemerdekaan dalam setiap pemberitaannya meski mendapat sensor dan ancaman hukuman mati dari tentara pendudukan Jepang. Pada periode ini, masyarakat dapat memperoleh berita-berita dari dunia luar, khususnya perang Pasifik, tanda-tanda kekalahan Jepang, dan berita proklamasi kemerdekaan Indonesia yang disiarkan oleh Borneo Simboen.
Keempat, pada masa periode perang kemerdekaan, media massa bahu membahu dengan pejuang gerilya dan tokoh politik untuk mempertahankan proklamasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945. Pada periode ini, surat kabar dan majalah republikein tidak hanya mendukung perjuangan mempertahan kemerdekaan, namun secara tegas menolak ide federalisme dan rencana pembentukan negara Kalimantan serta mendukung Kalimantan Selatan tetap menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Antemas, Anggraini. 1988. Mutiara Nusantara Seri Kalimantan Selatan. Amuntai: Mega Sapura.
Artha, Artum. 1981. Wartawan-wartawan Kalimantan Raya. Surabaya: Bina Ilmu Offset.
Artha, Artum. 1981. Wartawan-wartawan Kalimantan Raya. Surabaya: Bina Ilmu Offset.
Gafuri, Ahmad. 1984. Sejarah Perjuangan Gerilya Menegakkan Republik
Indonesia di Kalimantan Selatan (1945-1949). Kandangan: Departemen
Penerangan Kabupaten Hulu Sungai Selatan.
Ideham, M. Suriansyah dkk (ed.). 2003. Sejarah Banjar. Banjarmasin:
Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah Provinsi Kalimantan Selatan.
Saleh, M. Idwar dkk. 1978/1979. Sejarah Daerah Tematis Zaman
Kebangkitan Nasional (1900-1942) di Kalimantan Selatan. Banjarmasin:
Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah Depdikbud.
Nawawi, Ramli dkk. 1991. Sejarah Revolusi Kemerdekaan (1945-1949)
Daerah Kalimantan Selatan. Jakarta: Proyek Inventarisasi dan Pembinaan
Nilai-Nilai Budaya Depdikbud.
Pemda Tk.I Kalsel. 1990. Sejarah Perjuangan Rakyat Menegakkan
Kemerdekaan Republik Indonesia di Kalimantan Selatan (Periode
1945-1949). Banjarmasin.
Wajidi. 2007a. Nasionalisme Indonesia di Kalimantan Selatan 1901-1942. Banjarmasin: Pustaka Banua.
Wajidi. 2007b. Proklamasi Kesetiaan Kepada Republik. Banjarmasin: Pustaka Banua.
Wajidi. 2008. Glosarium Sejarah Lokal Kalimantan Selatan Periode 1900-1950. Yogyakarta: Debut Press.
Surat Kabar, antara lain
Soeara Kalimantan edisi Saptoe 7 Februari 1942 ¬¬– 19 Moeharram 1361
Kalimantan Raya edisi Raboe 4 Nopember 2602
Borneo Simboen edisi Nomor 435, Jumat 28 April 2604
Borneo Simboen edisi Nomor 851, Minggu 26 Hatji-Gatsoe 2605
Kalimantan Berdjuang edisi Kamis 22 September 1949 No. 806 Tahun ke V
Kalimantan Berdjuang edisi Djumat 11 Nopember 1949 No. 847 Tahun ke IV
Soeara Kalimantan edisi Senin 29 Agustus 1949 Tahun ke V Nomor 217
Indonesia Merdeka edisi Sabtu 28 April 1951 Nomor 99 Tahun ke VII
Kalimantan Raya edisi Raboe 4 Nopember 2602
Borneo Simboen edisi Nomor 435, Jumat 28 April 2604
Borneo Simboen edisi Nomor 851, Minggu 26 Hatji-Gatsoe 2605
Kalimantan Berdjuang edisi Kamis 22 September 1949 No. 806 Tahun ke V
Kalimantan Berdjuang edisi Djumat 11 Nopember 1949 No. 847 Tahun ke IV
Soeara Kalimantan edisi Senin 29 Agustus 1949 Tahun ke V Nomor 217
Indonesia Merdeka edisi Sabtu 28 April 1951 Nomor 99 Tahun ke VII
Wartawan dan karyawan Semarak/Surat Kabar Kalimantan Berdjuang
(1947-1952). Searah jarum jam, berdiri: Siti Chasrimunah, Zafry Zamzam,
Yusni Antemas, Zainal, Aliansyah Luji, A. Gafar (Tata Usaha).
Berjongkok: Artum Artha, anak-anak, Abdul Gani (loper), Arifin (Pembantu
Tata Usaha), foto diambil
dari blog Bubuhan Banjar (Wajidi)
FOTO-FOTO LAMA
————————-diambil dari foto2 FB Mohammad Ary
Residentiekantoren te Bandjermasin (Date: 1910)
Kantor Karesidenan BZO tampak tugu peringatan berada di depan.
Sekarang Kontor Gubernuran Kalsel. Telah ratusan tahun di areal ini
menjadi tempat pemimpin tertingi di daerah ini, mungkin tak lama lagi
akan tinggal kenangan jika perkantoran gubernur pindah ke Banjarbaru.
Siap meninggalkan sejarah lagi sekaligus menghapusnya. Hmm….
Galuh Banjar 1938Portret van de ronggo van Banjarmasin met gevolg en kinderen 1860.
Sumber : Troopen Museum, Amsterdam.
Kapitein Chinees [vermoedelijk te Banjarmasin], 1845.
selain di Bjm satu lagi kapiten utk komunitas China
di Pelaihari di kampung Cina Parit n Tabonio.
Postauto te Barabai 1927.
Sumber : KITLV Leiden.
Bubuhan nanang eh utuh Banjar peserta balap jukung di sungai Mtp, Bjm.
Kinderen bij de roeiwedstrijd op de Martapoera te Bandjermasin (31/08/1938)
A.J.M. Zijlmans met een fiets op de vonder die het weggezakte deel van de Schans van Thuylweg vervangt te Bandjermasin, 1938-06-15.
Sumber : KITLV Leiden.
———————————————————- foto lainnya
Pasar Kandangan lagi bahari
pakaian kesultanan Banjar tempu dulu
Bioskop Dewi
Bioskop Mawar
Jukung Tambangan
Makam sultan
Pasar Hanyar
Penginapan
Pasar Baras
Jembatan Sudimampir
Pasar Baru
Pasar Kelayan
Pasar Lama
Feestelijkheden in het Barabai Restaurant ter gelegenheid van koninginnedag te Barabai
(Perayaan di Restaurant Barabai untuk menyambut kedatangan Ratu ke Barabai)
Foto ini diambil pada tanggal 03-08-1927 oleh Tichelman, G.L.
(Perayaan di Restaurant Barabai untuk menyambut kedatangan Ratu ke Barabai)
Foto ini diambil pada tanggal 03-08-1927 oleh Tichelman, G.L.
=======================================================================
Sumber : hasanzainuddin
Related News
Most Popular stories
- Tas dan Dompet Terbuat dari Bahan Plastik Bekas
- Ciptakan Masyarakat Melek IT
- Samsung Galaxy Note 8 - 16 GB - Putih RP 5.249.000
- Mini Projector LED Rp. 1.450.000,-
- JUAL KAPAL / PERAHU KHAS BANJAR BERMOTOR MURAH 30 JUTAAN (BISA NEGO)
- Tablet Android dan iPad Belum Bisa Cicipi Aplikasi BBM
- Fujifilm FinePix S4600 Lens 24-624mm Black + Memory Card 8 GB + Tas Semipro + Fujifilm Tumbler RP 2.149.000
- Backpack / tas ransel Real Madrid Rp. 165.000